Sunday, December 6, 2009

~ JIWA ~


Aku sudah letih. Penantianku akan seseorang yang akan datang menolongku untuk bisa tersenyum lagi tak berujung. Tapi mengapa Tuhan tak juga mendengar doaku. Sudah letih aku menunggu, tapi malam tak juga membawakan aku sosok itu. Lalu aku, mimpi dan ruang putih kosong itu semakin tenggelam jauh ke dasar khayalanku.
Namun tiba-tiba di sela doa-doaku, seseorang muncul. Tubuhnya tinggi kurus, kulitnya putih, rambutnya panjang sebahu dengan mata yang tajam namun indah, menyapaku. Tiba-tiba saja dia duduk di sebelahku. Dia tersenyum, namun aku buru-buru memalingkan wajahku. Aku gugup sekali. Tak berani aku mengucapkan sepatah katapun. Aku hanya bisa sesekali mencuri pandang dari balik sela-sela uraian rambutku.

“Kau sakit?” .

itu kata-kata pertama yang keluar dari bibirnya. Aku hanya bisa memandangnya dengan takjub.

“Dia, menarik sekali…” ungkapku dalam hati.

Lalu dia memperkenalkan namanya.

“ Namaku Jiwa”.

Nama yang aneh buat dia. Aku membalas uluran tangannya. ternyata Jiwa baik sekali. Dia selalu membuatku tertawa. Dia selalu mengajari aku banyak hal. Seperti memahami sebuah perasaan dan kesabaran. Aku senang sekali dengannya. Secara tak kusadari aku sudah jatuh cinta dengannya. Tertawanya yang khas, pandangannya yang sayu dan suaranya yang lembut, begitu sempurna. Dan kemudian ketakutan seraya muncul di hatiku. Takut akan ketidak-berdayaanku, ketidaksempurnaanku, dan keputus-asaanku. Membuatku takut sekali. Setakut ketika aku sadar suatu hari aku pasti mati.. Takut untuk jatuh cinta padanya…

Lalu aku menghindari Jiwa. Selalu berusaha tidak bertemu dengannya. Hingga berbulan-bulan. Sampai akhirnya aku terduduk di suatu ruang kosong. Saat itu hanya ada aku, buku-buku dan rangkaian puisi yang tak jadi. Aku menatapi bangku-bangku kosong di sekitarku.

“Akhirnya aku kembali ke sini. Kosong dan sepi. Jika begitu, biar aku jadi temanmu wahai kosong…” bisikku lirih,

lalu aku tertunduk dalam, dan butiran airmataku berjatuhan di tanganku.

“Ya Tuhan, kenapa harus selalu berakhir seperti ini?...”

Belum habis aku menyelesaikan kata-kataku, sesosok tubuh menarik kepalaku dan membenamkan wajahku ke dadanya. Tempat yang paling hangat dan nyaman setiap aku berlabuh hingga seluruh tubuhku terasa mencair…

“Kenapa kau menyerahkan dirimu pada kosong. Aku merasa sakit sekali mencarimu. Aku ingin menjagamu, biarkan aku menjagamu…”

Saat itu yang bisa ku dengar hanya degup jantungnya, dan aroma wangi tubuhnya. Aku mengenali suaranya, aku juga mengenali harumnya, dan kupandangi helaian rambut lurus yang terperangkap di wajahku yang banjir airmata. Jiwa, dia mencintai aku begitu dalam.

“Apa boleh aku mempercayakan semua airmataku padamu?”. Bisikku.

Jiwa mengangguk lalu memelukku erat.

“Percayakanlah semua padaku…Karena setiap butiran itu jatuh, sebagian tubuhku menghilang perlahan. Dan karena setiap kau menghilang, maka diriku pun akan menghilang perlahan...” Ucapnya dengan lembut.

Lalu aku kembali pada jiwa. Berwaktu-waktu kami bersama. Keceriaan, khayalan, dan kebahagiaan menghiasi saat-saat kami. Membuatku semakin merasa lebih baik dari waktu ke waktu. Jiwa sangat manis. Dia selalu membawakanku senyuman terbaiknya setiap kami bertemu. Dia juga selalu menciptakan lagu-lagu indah dan puisi, juga bernyanyi untukku. Aku sangat mencintai jiwa.
Suatu hari, dia mengajakku ke sebuah tempat yang sangat indah. Di mana yang kulihat hanya hamparan padang rumput hijau nan luas, langit biru tanpa awan yang luas tak bertepi, angin yang sejuk dan gunung es yang cantik. Aku bahagia sekali, dan berteriak Betapa aku mencintainya. Namun tiba-tiba ku dengar suara lirihnya ,

“Aku harus pergi…” Aku langsung tercengang dengan perkataannya. Takutku kembali datang serta merta.

“Ke mana?” tanyaku lirih.

“Ke arah angin, karena dia memanggilku…” jawabnya.

“Apa angin itu merayumu hingga kau jatuh cinta padanya?” tanyaku cemas.

“Tidak cintaku hanya untukmu, tapi langit juga memaksaku untuk pergi…”. Aku hanya terdiam sambil menangis. Aku melihat Jiwa tersenyum lembut ke arahku, matanya yang sayu selalu membuatku merasa tenang.

“Kenapa aku tidak bisa hidup selamanya denganmu?, tak adakah sesuatu yang membuatmu untuk tetap tinggal bersamaku?” tanyaku dalam isak.

“Ada, ke-ikhlasan hati… jika kau ikhlas hati dalam diam,, maka kita akan bersama selamanya, tak terpisahkan, karena kita satu dan kau memilikiku dalam hatimu…” jawabnya dengan lirih.

“Aku akan memberikan semua keikhlasan hatiku, agar kau tetap tinggal…” jawabku dalam tangis.

Jiwa tersenyum manis, setelah itu, Jiwa mencium keningku dan pergi bersama angin.
Setahun aku menunggunya di padang rumput itu. Dan menatap sudut langit di sana. Berharap muncul dalam kabut dan meninggalkan sosoknya di hadapanku.

“Kenapa aku tetap tak bisa merasakan Jiwa akan kembali di hatiku?” tanyaku dalam hati.

Aku takut sekali, aku merasa sendiri lagi. Lalu aku berteriak memanggil Jiwa. Namun tak ada jawaban. Aku sudah berakhir, Jiwa telah pergi. Dan aku di tinggal sendiri. Aku mulai menangis tersedu.

Tiba-tiba aku teringat akan kata-katanya. Keikhlasan hati yang pernah ku janjikan untuk kehadirannya. Keikhlasan hati yang akan membuatnya datang lagi, keikhlasan hati dengan tidak memiliki akan membuatnya hadir di sini, ikhlas hati yang tidak mengharapkan pamrih keikhlasan hati yang membuatnya akan hadir dalam hatiku. Dan ku bejuang mencari khlas hati itu, menangkapnya erat di hati, mempercayainya bahwa kami akan bersama, satu hari nanti.. tak mudah mencarinya, namun terus kucari tanpa henti.. aku merasakan ketenangan… dalam ketidakberdayaanku…
Lalu melihat sebuah bayangan hitam di tanah. Aku melihat ke atas namun wajah sosok itu terhalang sinar matahari. Helaian rambutnya berjuntai di terpa angin. Dan aku mengenali helaian rambut itu, aku mengenali harumnya... Aku buru-buru bangkit dan memeluknya.

“Akhirnya kau kembali…” Ucapku dalam isak tangis.

“Karena tangisanmu. Setiap air matamu terjatuh, maka setiap itu pula sebagian tubuhku menghilang…karena ikhlas hatimu memanggilku kembali berlabuh dalam pelukanmu”. Jawabnya lembut.

“Tetap tinggal bersamaku… jangan pergi lagi…” pintaku dan memeluknya semakin erat.

“Aku tidak akan pergi lagi, maafkan aku…” Kami berpelukan dan Jiwa membawaku pergi, saat itu waktu, airmata, senyumku, ketabahanku, rasa ikhlasku, penantianku, doa kecilku, jalan ceritaku, lagu-laguku, semua harapanku, kebahagiaanku, nafasku, dan semua hal yang kumiliki dalam tubuh ini, ku jual dan ku tukar dengan sebuah mimpi, tempat aku dan Jiwa saling menyinta untuk selamanya. Karena ku tahu, jiwa dan aku adalah satu.. kami saling menyinta dan menjadi ada, tak akan bisa nyata jika tak bisa bersama. Aku dan jiwa saling membutuhkan, dan tidak terpisahkan.
Saat itu aku ingat yang bisa ku dengar sayub-sayub hanyalah tangisan yang berhiaskan bunga Lili putih, sungguh indah…

“Ibu… maafkan aku…kini aku berani mencintainya”

No comments:

Post a Comment